Senin, 14 Juni 2010

It's our love story | Part 10

Posted by Arimbi's Story at 23.03 0 comments
Di kamar Alvin

Alvin yang sedaritadi sangat senang, memutuskan untuk memberitahukan hal ini pada Rio. Ia mencari kontak dengan nama Rio, lalu menekan tombol call.

Di Rumah Rio

Acha sedang berada dirumah Rio. Acha dan Ozy sedang menonton dvd yang baru dibeli Rio. Film ‘Christmas Carol’. Bareng Rio juga. Tiba-tiba handphone Rio berbunyi. ‘Alvin?’ Batinnya. Ia pun beranjak dari sofa, menjauhi ruang keluarga dan segera mengangkatnya telepon dari Alvin.

“Iya Vin?”
“Yo! Lo pasti ngga bakal nyangka deh.”
“Apaan?”
“Gue balikan sama Zahra!”
“Serius? Lo balikan sama Zahra, Vin?” Omongan Rio sangat keras, hingga Acha dan Ozy dapat mendengarnya.
“Iya tadi gue nembak Zahra terus langsung diterima.”
“Wahh bagus deh.”
“Yaudah deh, Yo. Gue cuma mau kasih tau itu aja. Bye.”

“Alvin udah berhasil balikan sama Zahra. Kalau gitu, gue juga harus bisa jadian sama Ify. Besok hari libur kan? Gue aja Ify jalan, ah.” Ujar Ify dalam hati. Rio memutuskan untuk sms Ify.

To : Ify (sahabat kecil)
Fy, besok kan libur. Jalan yuk ^^

Tak lama kemudian, sms balasan dari Ify datang.

From : Ify (sahabat kecil)
Boleh deh, gue lagi ngga ada kerjaan nih.

Rio membalas lagi.

To : Ify (sahabat kecil)
Oke deh, besok pagi ketemuan di Our Cafe ya jam 10.

Balasan dari Ify datang lagi

From : Ify (sahabat kecil)
Sip sip

‘Akhirnya jalan juga gue sama Ify!’ dengan gembira, Rio kembali ke ruang keluarga, tempat Acha dan Ozy yang masih asik menonton film. Tampak wajah Acha yang kesal karena mendengar kabar bahwa Alvin balikan dengan Zahra. Ozy masih tidak percaya dengan yang tadi dibilang Rio, dia langsung bertanya.

“Ka. Ka Alvin balikan sama Ka Zahra?” Tanya Ozy.
“Yoi. Asik banget ya.” Telinga Acha terasa panas mendengar itu. Ia putuskan untuk segera pulang. Ia kesal dengan Ozy, karena Ozy bilang Ka Alvin dan Ka Zahra cuma mantanan, tapi sekarang malah balikan.
“Ka Rio, Ozy, Acha pulang ya. Capek.” Acha menuju pintu depan rumah. Rio heran. Ozy menghampiri Acha.
“Kenapa, Cha? Lo sakit?”
“Jangan pura-pura ngga tau deh, Zy!!” Bentak Acha.
“Gue emang ngga tau.”
“Lo bilang Ka Alvin cuma mantanan sama Ka Zahra, kok sekarang bisa balikan?”
“Yahh gue ngga tau, Cha.”
“Lo udah bohongin gue, Zy. Gue ngga mau main sama lo lagi.” Kini Acha benar-benar pulang. Ozy tak mampu menahannya. Ia memutuskan untuk ke kamarnya, melewati Rio yang masih menonton film.
“Acha kenapa, Zy?” Tanya Rio.
“Ini semua gara-gara lo, Ka!! Ngapain lo teriak-teriak ngasih tau Ka Alvin balikan sama Ka Zahra? Udah tau Acha suka sama Ka Alvin! Ngga punya perasaan lo, Ka! Sekarang Acha marah banget sama gue, dia bilang gue pembohong. Puas lo!” Ozy berlari menuju ke kamarnya. Mengunci pintu, sendirian didalam heningnya suasana.
“Zy.. maafin gue.” Rio berteriak dari luar kamar Ozy.
“Udah telat, Ka, permintaan maaf lo!”

Rio merasa sangat bersalah. Tapi tadi Ia benar-benar lupa kalau ada Acha, yang suka dengan Alvin disana. Rio pergi ke ruang keluarga, mematikan dvd player, dan merenungkan perkataan Ozy padanya.

Keesokan harinya

Rio sudah bersiap-siap untuk jalan bersama Ify. Memang, masih ada 1 jam lagi dari waktu yang dijanjikan. Tapi Ia tak mau terlambat dihari penting bagi kelangsungan kisah cintanya itu.

‘Oke, gue udah keren. Baju oke, muka? Pastilah oke banget.’ Rio sedang bercermin di dalam kamarnya.
Rio melihat jam tangan yang melingkar ditangannya, dan masih menunjukkan pukul 09.03.

‘Gue kepagian nih. Oh iya! Gue kan belum ngasih tau Alvin. Telepon, ah!’

“Ku tak akan bisa….” Dering tanda telepon masuk di handphone Alvin berbunyi. Kebetulan, Alvin masih tidur. Dengan mata yang masih tertutup, dan jiwa yang masih melayang, Alvin meraba-raba letak handphone nya yang tergeletak di tempat tidur. Lalu mengangkatnya tanpa melihat nama si penelepon.

“Hallo.” Kata Alvin, masih dengan mata tertutup.
“Hey, Vin! Denger deh, gue punya kabar yang bagus!”
“Hah, kabar apa, Ray? Lo udah baikan sama Sivia? Wah bagus deh kalau gitu.”
“Ray? Sivia? Apaan sih, Vin! Gue Rio! Sadar dong, aduuuhh.”
“Rio? Rio siapa? Gue ngga pernah punya temen yang namanya Rio ah.”
“Vin? Mario Stevano yang ganteng itu, lho.”
“Mario? Ganteng? Yailah masih gantengan Alvin Jonathan, lah!”
“ALVIIIINNNNNN!!!” Rio berteriak di telepon. Seketika itu Alvin sadar.
“Hah, Rio? Ngapain sih lo telepon gue main teriak-teriak aja!”
“Sabar, Yo. Sabar…”
“Apaan sih, sabar-sabar?”
“Heh, lo ya! Tadi lo bilang gue Ray! Terus malah numpang narsis! Bad mood duluan deh gue belom cerita ke lo.”
“Sorry, Yo. Gue tadi masih tidur. Hehe Rio sayaaaangg maafin ya.”
“Huhu Alvin ngeselin. Rio males sama Alvin ah!”
“Yah, sayang kok ngambek gitu sih?”
“Kamu duluan yang bikin aku ngambek, Yang.”
“Yaudah maafin yaaa.”
“Hhhh oke deh Alvin sayang. Udah ah, gue masih normal, Vin!”
“Iya ilah, gue juga udah punya cewe kali, mana demen sama lo. Bercanda doang. Terus mau cerita apaan?”
“Oke, oke. Nih ya, Vin. Gue berhasil ngajak Ify jalan!”
“Serius? Wahhh selamat yaaa, Yo.”
“Makasih, Vin. Tapi lo ngga cemburu kan?”
“Cemburu? Gue kan udah punya Zahra. Ngapain cemburu.”
“Oh gitu yaudah deh, Vin. Gitu aja kok.”
“Yaudah gih, gue mau tidur lagi. Byeee.”

Alvin memutus teleponnya terlebih dahulu. Dan langsung terlelap lagi. Sedangkan Rio? Lagi marah-marah, karena teleponnya langsung diputus sama Alvin.

‘Jam berapa nih? Ya ampun udah jam 09.30! berangkat deh!’

Rio keluar dari kamarnya, menuruni tangga rumahnya menuju ke lantai dasar. Kedua orang tua Rio sedang pergi, jadi rumah sangat sepi. Ozy masih mengurung diri di dalam kamar. Rio ke kamar Ozy dahulu, yang terletak di lantai dasar. Rio pun mengetuk pintu kamar Ozy, tapi tak ada jawaban.

“Ozy.. Jangan di kamar terus dong.” Teriak Rio yang berada di depan pintu kamar Ozy.
“Zy.. Jangan marah lagi, ya. Maafin gue.”
“Zy? Gue boleh usul ngga? Lo mending ke rumah Acha deh. Lo jelasin semuanya. Tentang perasaan lo ke dia. Sampein permintaan maaf gue juga ya, Zy.”

Masih tidak ada jawaban. Rio pikir, Ozy masih tidur. Padahal Ozy sudah bangun, tapi sedang tiduran di tempat tidur.

“Gue berangkat, Zy.” Rio keluar dari rumahnya dengan membawa kunci motor di tangannya.

Terdengar suara mesin motor dinyalakan. Samar-samar, suara itu menghilang dan terus menghilang hingga tak terdengar lagi. Sang pemilik motor kini telah pergi menuju ke tempat janjian. Sedangkan Ozy masih tiduran dikamarnya. Memikirkan Acha yang kini marah padanya, perasaannya pada Acha yang makin terpendam, dan Rio, kakaknya yang merasa bersalah.

‘Bener kata Ka Rio, gue harus jelasin semuanya ke Acha!’

Ozy lalu memutuskan untuk beranjak dari tempat tidur menuju ke kamar mandi. Bersiap-siap menuju rumah Acha.


*****

‘Ify.. mana ya? Nah itu dia!’ Rio menghampiri Ify yang sedang duduk, sedaritadi hanya melirik kearah jam ditangannya.
“Hey, Fy. Maaf ya gue telat.” Rio duduk dihadapan Ify.
“Ngga, kok. Gue juga baru aja dateng.”
“Oh hehe yaudah pesen makanan dulu deh. Biar enak ngobrolnya. Habis ini, kita jalan ke tempat lain ya.”
“Kemana?”
“Lo maunya kemana?” Rio balik bertanya.
“Sebenenya sih gue mau cari novel, Yo. Hehe.”
“Boleehhh, sip habis ini ke toko buku ya.”

It's our love story | Part 9

Posted by Arimbi's Story at 22.59 0 comments
Alvin melangkah perlahan memasuki rumahnya, menghampiri sosok yang tidak dikenalnya yang sedang bersama Ibunya dan Ka Nova. Ka Nova menyadari kehadiran Alvin dan segera memandang ke arah Alvin.

“Alvin? Udah pulang?” Tanya Ka Nova lembut.
“Hemm udah, Ka.” Alvin masih terheran dengan sesosok yang sedang duduk di sofa ruang keluarga, diantara Ibunya dan Ka Nova. Tiba-tiba sesosok itu berbalik dan menatap Alvin. Betapa terkejutnya bahwa itu adalah Ayah Alvin.
“Alvin! Sini gabung!” Ajak Ayah Alvin. Alvin bengong.
“Vin, sini nak gabung.” Kali ini Ibu Alvin juga mengajaknya.
“Oh iya iya.” Alvin menghampiri mereka dan duduk disebelah Ka Nova.
“Vin, nanti malem Ayah mau ajak kita makan malem bareng, lho. Udah lama kan kita ngga kaya gini.” Ujar Ka Nova. Alvin masih bingung.
“Hah? Apaan sih, Ka. Gue ngga ngerti. Kenapa tau-tau keadaan keluarga kita jadi kaya gini?”
“Hahaha Alvin, Alvin. Ayah udah berusaha mengubah sikap Ayah, tapi kamu malah ngomong gitu. Kamu mau ayah yang dulu?”
“Engga! Ampuuuunnnn.” Alvin memohon manja.
“Ayah sudah sadar, Ayah punya keluarga yang sangat berarti, yang ngga boleh disia-siakan. Ayah ingin jadi bagian keluarga ini kaya dulu lagi. Ayah janji bakal jadi Ayah yang paling baik di dunia. Maafin Ayah ya, Vin. Ayah paling banyak salah sama kamu.” Ayah Alvin menunduk. Alvin tersentuh, berdiri dari tempat duduknya dan berlutut didepan Ayahnya.
“Ngga apa-apa, yah. Ngga perlu minta maaf. Kejadian yang sudah lewat, biarin aja. Yang penting kita mulai dari awal lagi, ya.” Alvin tersenyum.
“Makasih Alvin.” Ayah Alvin memeluk Alvin erat. Hangat. Sudah lama Alvin mendambakan sebuah pelukan tulus dari sang ayah tersayang. Ka Nova dan Ibu hanya memandang dengan tatapan terharu.
“Yah?” Alvin melepas pelukannya.
“Iya, Alvin?”
“Makan malam barengnya nanti ya?”
“Iya. Ada masalah?”
“Hmmm Alvin boleh ajak temen Alvin ngga? Besok kan hari libur.”
“Tentu. Emang kamu mau ajak siapa?”
“Namanya Zahra. Anaknya lembut, sopan, cantik lagi.” Ungkap Alvin malu.
“Boleh, boleh. Jam 7 ya.”
“Oke, makasih Ayaaahhh. Alvin mau telepon Zahra dulu. ” Alvin melangkah menjauhi ruang keluarga, menuju teras rumahnya. Mencari-cari nama Zahra dalam kontak handphone nya dan langsung menekan tombol ‘calling’.

“Hallo, Vin.” Terdengar suara Zahra.
“Hey, Zahra.”
“Tumben nih telepon. Kenapa?”
“Nanti malem lo ada acara ngga?”
“Hmmm engga tuh.”
“Bagus kalo gitu!”
“Apanya yang bagus?”
“Gini, ayah gue ngajakin makan malem bareng keluarga. Dan gue mau lo dateng.”
“Gue? Itukan makan malem lo sama keluarga lo, Vin. Ngapain ajak-ajak gue?”
“Kata Ayah gue boleh bawa temen kok. Yayaya please, Zah.”
“Yaudah deh. Gue juga bosen dirumah.”
“Yeay makasih Zahra. Gue jemput jam 18.50 yaa. Bye.”
“Bye, Vin.”

‘Asik Zahra mau dateng!’ ujar Alvin dalam hati. ‘Wait, kenapa gue berinisiatif buat undang Zahra? Kenapa gue ngga undang yang lain aja? Aduhh gue kok jadi aneh gini. Apa gue suka sama Zahra? Engga, engga Zahra kan cuma masa lalu gue.’ Alvin garuk-garuk kepala. Ia heran dengan perasaannya sendiri. Ia pun memutuskan untuk kembali ke ruang keluarga.

Di rumah Sivia

Seusai sekolah, Sivia selalu murung. Tidak ada senyum dibibirnya. Bahkan, jika diperhatikan, butiran air mata Sivia jatuh sedikit demi sedikit. Ya, Ray lah jawabannya. Sivia memang kesal dengan Ray, tapi itu membuatnya sedih. Masih ada rasa sayang dihatinya. Tapi 80% keyakinannya menginginkan mereka untuk putus. ‘Ya, gue harus putus. Gue ngga mau terus-terusan kaya gini.’ Batin Sivia. Sivia segera mengambil handphone nya yang tergeletak di meja dan mulai mengetik pesan singkat untuk Ray.

To : ♥Ray
Ray, aku mau kita putus.

Ray yang sedang ketawa-tawa baca komik sambil tiduran di tempat tidur, kaget seketika. Nafasnya terasa sesak, pikirannya kacau. Ia memutuskan untuk menelepon Sivia. Awalnya Sivia ngga mau angkat, tapi dia putuskan untuk mengangkatnya.

“Hallo, Vi.” Ray mulai berbicara.
“Hemm..”
“Itu sms kamu yang tadi bercanda kan?”
“Seriuslah, ngapain aku bercanda.”
“Tapi ending nya ngga bisa kaya gini dong, Vi. Ini semua cuma masalah kecil dan masih bisa kita bicarain baik-baik.”
“Tapi aku udah ngga sanggup, Ray. Aku udah terlanjur kesel. Kalau kita putus, kamu bisa kan jadian sama Dea itu.”
“Apaan sih, Vi. Udah aku bilang Dea cuma temen aku. Dan aku sukanya sama kamu!”
“Kamu terlalu lemah! Kalau emang kaya gitu, harusnya kamu samperin Dea, suruh dia telepon aku minta maaf atas semua ini. Tapi kenyataannya apa? Kamu ngga berusaha membuat Dea minta maaf kan? Cowo macam apa kaya gitu.”
“Maaf, Vi. Maaf. Aku belum sempet. Lagipula ini terlalu cepat kalau kita putus sekarang.”
“Kamu ngga ngertiin keadaan aku sekarang Ray! Hiks..” Isakan Sivia mulai terdengar.
“Via? Jangan nangis dong. Kita omongin pelan-pelan ya dari awal. Aku masih sayang sama kamu, aku ngga mau lepasin kamu, Vi.”
“Ngga! Kamu munafik!”
“Terserah kamu mau ngatain aku apa, Vi. Kasih aku kesempatan ya buat nyari jalan dari masalah ini. Please, Vi. Tarik kata-kata putus tadi.”
“Whatever. Aku ngga peduli. Walau kita belum putus, tapi aku marah banget sama kamu!!” Sivia memutus sambungan telepon nya. Ray menjadi sangat lemas. Bingung. Padahal hanya masalah seperti itu saja, Sivia sampai marah kaya gitu.

*****

Zahra sedang bingung memilih pakaian yang akan Ia kenakan untuk makan malam bersama keluarga Alvin di kamarnya. Alvin menjemput dia setengah jam lagi tapi Ia belum bersiap. ‘Hemm udahlah ngga usah formal-formal. Kemeja sama jeans cukup kan?’ Ya, itulah keputusan Zahra. Mengenakan kemeja berwarna ungu dengan jeans hitam. Rambutnya dibiarkan terurai. Zahra sudah siap sekarang. ‘Waduh udah jam segini. Cepet-cepet turun deh.’ Zahra melangkah keluar kamarnya, menuruni tangga dan menuju ruang keluarga. Menunggu Alvin. Disana ada mamanya yang sedang membaca majalah.
“Zahra? Kamu rapi sekali. Mau pergi?”
“Iya, Ma. Alvin ngajakin aku makan malam bareng keluarganya. Boleh kan ya, Ma?”
“Alvin? Mama ngga tau ah kamu punya teman yang namanya Alvin.” Alvin dan Zahra memang pernah pacaran dulu, tapi backstreet. Kedua orang tua mereka tidak ada yang mengetahui itu. Dan itupun hanya bertahan 7 bulan.
“Alvin anak kelas 9b, Ma. Nanti mama ketemu aja, dia mau jemput aku. Oh itu kayanya dia udah dateng.”

Terdengan suara motor berhenti tepat didepan rumah Zahra. Zahra dan Mama nya segera menghampiri. Alvin melepas helm nya dan turun dari motor. Masuk kerumah Zahra yang pintu gerbangnya sudah dibuka kan oleh satpam. Alvin tersenyum melihat Zahra yang berpenampilan sangat cantik malam ini. Saai itulah, Ia merasa jantungnya berdetak kencang, apalagi ketika Zahra membalas senyumannya.

“Malam, Tante.” Alvin menyalami Mamanya Zahra.
“Malam. Kamu.... yang namanya Alvin?”
“Benar, Tante. Alvin mau ajak Zahra ikut makan malam dirumah Alvin. Boleh ngga, Tan?”
“Tentu. Zahra juga udah siap kok.”
“Yaudah kami berangkat ya, Tan.”
“Zahra berangkat, Ma.”
“Hati-hati. Bawa motornya jangan ngebut, Vin.”
“Siap, Tante.” Alvin tersenyum ramah.

Alvin dan Zahra menuju motor Alvin (motor Ka Nova, sih) yang diparkirkan didepan gerbang yang terbuka. Mereka menaiki motor itu dan langsung melesat kerumah Alvin. 10 menit kemudian mereka sudah sampai dirumah Alvin. Setelah meletakkan helm dan memarkirkan motor, Alvin dan Zahra masuk kedalam rumah. Ayah dan Ibu Alvin serta Ka Nova sudah menanti mereka.

“Permisi. Selamat malam.” Ujar Zahra sopan.
“Malam Zahra.” Ibu Alvin tersenyum pada Zahra.
“Zah, duduk disini ya.” Alvin menarik kursi untuk Zahra. Kemudian Alvin duduk disebelah Zahra.
“Baru kali ini lo bawa cewe kesini, Vin, Vin.” Goda Ka Nova.
“Apa sih, Ka. Diem deh.”
“Ihh Alvin jadi lembut. Haha cie jaim.”
“Ka, please dong. Ohya Zahra ini kaka gue. Ka Nova.”
“Hahaha oke oke, Vin. Hello Zahra.”
“Hello Ka Nova.” Sapa Zahra balik.

Mereka makan malam sambil berbincang, sesekali tertawa. Malam yang menyenangkan bagi Zahra. Pengalaman, makan bareng keluarga Alvin. Seusai makan, Zahra bersiap-siap untuk pulang.

“Om, Tante, Ka Nova, Alvin. Makasih buat malam ini. Kalau gitu Zahra pamit pulang, ya.”
“Makasih juga, Zahra udah mau dateng. Suasananya jadi makin menyenangkan.” Ujar Ayah Alvin.
“Yasudah, Zahra permisi ya.”
“Zahra, tunggu. Biar gue anter pulang.” Tawar Alvin.
“Ngga usah, Vin makasih. Udah malem, masa malah ngerepotin lo.”
“Justru karena udah malem, gue takut lo kenapa-kenapa. Udah, Yuk.” Alvin mengenggam tangan Zahra menuju motornya. Zahra merasa gugup.

Sesampainya dirumah Zahra

“Thanks for today, Vin. Mampir dulu, yuk.”
“Sama-sama, Zahra. Engga deh, langsung balik aja ya gue.”
“Please, Vin. Kita ngobrol-ngobrol dulu.” Zahra memohon.
“Hemm yaudah deh.” Alvin turun dari motor dan mengikuti Zahra yang duduk di kursi di teras rumahnya.
“Zahra. Boleh jujur ngga?” Alvin memulai pembicaraan.
“Boleh, kok. Apa?”
“Lo cantik banget malam ini.” Ujar Alvin malu.
“Ahh Alvin apaan sih, biasa aja tau.” Zahra tak kalah malunya.
“Beneran deh, Lo bisa buat cowo-cowo yang ngeliat lo suka sama lo, tau.”
“Ngga gitu juga kali, Vin.”
“Yee beneran tau.”
“Contohnya siapa?”
“Gue.”
“Lo?”
“Hah? Lho tadi gue ngomong apa sih, sorry sorry.” Alvin kelabakan.
“Tadi lo ngomong kalau lo salah satu dari cowo-cowo yang suka sama gue. Iya ngga? Haha.” Ledek Zahra.
“Tapi kalo boleh jujur lagi.. boleh ngga?”
“Ya boleh lah.”
“Kalau boleh jujur, gue emang suka sama lo, Zah.”
“Dulu kan?”
“Ya sekarang lah. Malam ini, gue rasa gue suka sama seorang Zahra Damariva. Dan gue cuma bisa berharap, dia mau nerima gue kaya dulu lagi. Melanjutkan hubungan yang sempat terputus.”
Zahra diam. Alvin melanjutkan pembicaraannya sambil menatap Zahra.
“Lo mau jadi cewe gue lagi, Zah? Gue butuh lo.” Ungkap Alvin. Zahra belum berani menatap Alvin. Zahra hanya memandang kearah taman rumahnya.
“Ngga mau yah? Yahhh yaudah ngga apa-apa kok.” Alvin mengalihkan pandangannya dari arah Zahra, kearah depan.
“Siapa bilang? Gue mau kok.” Kini Zahra menatap Alvin.
“Beneran?”
“Iya, Alvin.”
“Jadi.. Kita balikan, Zah?”
“Iyaaa sayang.” Zahra mencubit pipi Alvin dengan gemas.
“Makasih, Zahra.” Ungkap Alvin senang.
“Makasih kembali.”
“Yaudah aku balik dulu yaaa Zahra. Good night.” Ujar Alvin manja.
“Night, Vin.”

Alvin menuju ke motornya, memakai helm dan menaiki motornya. Setelah tersenyum pada Zahra, Ia langsung pulang. Zahra membalas senyum Alvin, lalu memasuki rumahnya. Ke kamarnya. Sulit dipercaya, cowo yang pernah menjadi miliknya, kini menjadi miliknya kembali. Betapa senangnya Zahra.

Senin, 14 Juni 2010

It's our love story | Part 10

Di kamar Alvin

Alvin yang sedaritadi sangat senang, memutuskan untuk memberitahukan hal ini pada Rio. Ia mencari kontak dengan nama Rio, lalu menekan tombol call.

Di Rumah Rio

Acha sedang berada dirumah Rio. Acha dan Ozy sedang menonton dvd yang baru dibeli Rio. Film ‘Christmas Carol’. Bareng Rio juga. Tiba-tiba handphone Rio berbunyi. ‘Alvin?’ Batinnya. Ia pun beranjak dari sofa, menjauhi ruang keluarga dan segera mengangkatnya telepon dari Alvin.

“Iya Vin?”
“Yo! Lo pasti ngga bakal nyangka deh.”
“Apaan?”
“Gue balikan sama Zahra!”
“Serius? Lo balikan sama Zahra, Vin?” Omongan Rio sangat keras, hingga Acha dan Ozy dapat mendengarnya.
“Iya tadi gue nembak Zahra terus langsung diterima.”
“Wahh bagus deh.”
“Yaudah deh, Yo. Gue cuma mau kasih tau itu aja. Bye.”

“Alvin udah berhasil balikan sama Zahra. Kalau gitu, gue juga harus bisa jadian sama Ify. Besok hari libur kan? Gue aja Ify jalan, ah.” Ujar Ify dalam hati. Rio memutuskan untuk sms Ify.

To : Ify (sahabat kecil)
Fy, besok kan libur. Jalan yuk ^^

Tak lama kemudian, sms balasan dari Ify datang.

From : Ify (sahabat kecil)
Boleh deh, gue lagi ngga ada kerjaan nih.

Rio membalas lagi.

To : Ify (sahabat kecil)
Oke deh, besok pagi ketemuan di Our Cafe ya jam 10.

Balasan dari Ify datang lagi

From : Ify (sahabat kecil)
Sip sip

‘Akhirnya jalan juga gue sama Ify!’ dengan gembira, Rio kembali ke ruang keluarga, tempat Acha dan Ozy yang masih asik menonton film. Tampak wajah Acha yang kesal karena mendengar kabar bahwa Alvin balikan dengan Zahra. Ozy masih tidak percaya dengan yang tadi dibilang Rio, dia langsung bertanya.

“Ka. Ka Alvin balikan sama Ka Zahra?” Tanya Ozy.
“Yoi. Asik banget ya.” Telinga Acha terasa panas mendengar itu. Ia putuskan untuk segera pulang. Ia kesal dengan Ozy, karena Ozy bilang Ka Alvin dan Ka Zahra cuma mantanan, tapi sekarang malah balikan.
“Ka Rio, Ozy, Acha pulang ya. Capek.” Acha menuju pintu depan rumah. Rio heran. Ozy menghampiri Acha.
“Kenapa, Cha? Lo sakit?”
“Jangan pura-pura ngga tau deh, Zy!!” Bentak Acha.
“Gue emang ngga tau.”
“Lo bilang Ka Alvin cuma mantanan sama Ka Zahra, kok sekarang bisa balikan?”
“Yahh gue ngga tau, Cha.”
“Lo udah bohongin gue, Zy. Gue ngga mau main sama lo lagi.” Kini Acha benar-benar pulang. Ozy tak mampu menahannya. Ia memutuskan untuk ke kamarnya, melewati Rio yang masih menonton film.
“Acha kenapa, Zy?” Tanya Rio.
“Ini semua gara-gara lo, Ka!! Ngapain lo teriak-teriak ngasih tau Ka Alvin balikan sama Ka Zahra? Udah tau Acha suka sama Ka Alvin! Ngga punya perasaan lo, Ka! Sekarang Acha marah banget sama gue, dia bilang gue pembohong. Puas lo!” Ozy berlari menuju ke kamarnya. Mengunci pintu, sendirian didalam heningnya suasana.
“Zy.. maafin gue.” Rio berteriak dari luar kamar Ozy.
“Udah telat, Ka, permintaan maaf lo!”

Rio merasa sangat bersalah. Tapi tadi Ia benar-benar lupa kalau ada Acha, yang suka dengan Alvin disana. Rio pergi ke ruang keluarga, mematikan dvd player, dan merenungkan perkataan Ozy padanya.

Keesokan harinya

Rio sudah bersiap-siap untuk jalan bersama Ify. Memang, masih ada 1 jam lagi dari waktu yang dijanjikan. Tapi Ia tak mau terlambat dihari penting bagi kelangsungan kisah cintanya itu.

‘Oke, gue udah keren. Baju oke, muka? Pastilah oke banget.’ Rio sedang bercermin di dalam kamarnya.
Rio melihat jam tangan yang melingkar ditangannya, dan masih menunjukkan pukul 09.03.

‘Gue kepagian nih. Oh iya! Gue kan belum ngasih tau Alvin. Telepon, ah!’

“Ku tak akan bisa….” Dering tanda telepon masuk di handphone Alvin berbunyi. Kebetulan, Alvin masih tidur. Dengan mata yang masih tertutup, dan jiwa yang masih melayang, Alvin meraba-raba letak handphone nya yang tergeletak di tempat tidur. Lalu mengangkatnya tanpa melihat nama si penelepon.

“Hallo.” Kata Alvin, masih dengan mata tertutup.
“Hey, Vin! Denger deh, gue punya kabar yang bagus!”
“Hah, kabar apa, Ray? Lo udah baikan sama Sivia? Wah bagus deh kalau gitu.”
“Ray? Sivia? Apaan sih, Vin! Gue Rio! Sadar dong, aduuuhh.”
“Rio? Rio siapa? Gue ngga pernah punya temen yang namanya Rio ah.”
“Vin? Mario Stevano yang ganteng itu, lho.”
“Mario? Ganteng? Yailah masih gantengan Alvin Jonathan, lah!”
“ALVIIIINNNNNN!!!” Rio berteriak di telepon. Seketika itu Alvin sadar.
“Hah, Rio? Ngapain sih lo telepon gue main teriak-teriak aja!”
“Sabar, Yo. Sabar…”
“Apaan sih, sabar-sabar?”
“Heh, lo ya! Tadi lo bilang gue Ray! Terus malah numpang narsis! Bad mood duluan deh gue belom cerita ke lo.”
“Sorry, Yo. Gue tadi masih tidur. Hehe Rio sayaaaangg maafin ya.”
“Huhu Alvin ngeselin. Rio males sama Alvin ah!”
“Yah, sayang kok ngambek gitu sih?”
“Kamu duluan yang bikin aku ngambek, Yang.”
“Yaudah maafin yaaa.”
“Hhhh oke deh Alvin sayang. Udah ah, gue masih normal, Vin!”
“Iya ilah, gue juga udah punya cewe kali, mana demen sama lo. Bercanda doang. Terus mau cerita apaan?”
“Oke, oke. Nih ya, Vin. Gue berhasil ngajak Ify jalan!”
“Serius? Wahhh selamat yaaa, Yo.”
“Makasih, Vin. Tapi lo ngga cemburu kan?”
“Cemburu? Gue kan udah punya Zahra. Ngapain cemburu.”
“Oh gitu yaudah deh, Vin. Gitu aja kok.”
“Yaudah gih, gue mau tidur lagi. Byeee.”

Alvin memutus teleponnya terlebih dahulu. Dan langsung terlelap lagi. Sedangkan Rio? Lagi marah-marah, karena teleponnya langsung diputus sama Alvin.

‘Jam berapa nih? Ya ampun udah jam 09.30! berangkat deh!’

Rio keluar dari kamarnya, menuruni tangga rumahnya menuju ke lantai dasar. Kedua orang tua Rio sedang pergi, jadi rumah sangat sepi. Ozy masih mengurung diri di dalam kamar. Rio ke kamar Ozy dahulu, yang terletak di lantai dasar. Rio pun mengetuk pintu kamar Ozy, tapi tak ada jawaban.

“Ozy.. Jangan di kamar terus dong.” Teriak Rio yang berada di depan pintu kamar Ozy.
“Zy.. Jangan marah lagi, ya. Maafin gue.”
“Zy? Gue boleh usul ngga? Lo mending ke rumah Acha deh. Lo jelasin semuanya. Tentang perasaan lo ke dia. Sampein permintaan maaf gue juga ya, Zy.”

Masih tidak ada jawaban. Rio pikir, Ozy masih tidur. Padahal Ozy sudah bangun, tapi sedang tiduran di tempat tidur.

“Gue berangkat, Zy.” Rio keluar dari rumahnya dengan membawa kunci motor di tangannya.

Terdengar suara mesin motor dinyalakan. Samar-samar, suara itu menghilang dan terus menghilang hingga tak terdengar lagi. Sang pemilik motor kini telah pergi menuju ke tempat janjian. Sedangkan Ozy masih tiduran dikamarnya. Memikirkan Acha yang kini marah padanya, perasaannya pada Acha yang makin terpendam, dan Rio, kakaknya yang merasa bersalah.

‘Bener kata Ka Rio, gue harus jelasin semuanya ke Acha!’

Ozy lalu memutuskan untuk beranjak dari tempat tidur menuju ke kamar mandi. Bersiap-siap menuju rumah Acha.


*****

‘Ify.. mana ya? Nah itu dia!’ Rio menghampiri Ify yang sedang duduk, sedaritadi hanya melirik kearah jam ditangannya.
“Hey, Fy. Maaf ya gue telat.” Rio duduk dihadapan Ify.
“Ngga, kok. Gue juga baru aja dateng.”
“Oh hehe yaudah pesen makanan dulu deh. Biar enak ngobrolnya. Habis ini, kita jalan ke tempat lain ya.”
“Kemana?”
“Lo maunya kemana?” Rio balik bertanya.
“Sebenenya sih gue mau cari novel, Yo. Hehe.”
“Boleehhh, sip habis ini ke toko buku ya.”

It's our love story | Part 9

Alvin melangkah perlahan memasuki rumahnya, menghampiri sosok yang tidak dikenalnya yang sedang bersama Ibunya dan Ka Nova. Ka Nova menyadari kehadiran Alvin dan segera memandang ke arah Alvin.

“Alvin? Udah pulang?” Tanya Ka Nova lembut.
“Hemm udah, Ka.” Alvin masih terheran dengan sesosok yang sedang duduk di sofa ruang keluarga, diantara Ibunya dan Ka Nova. Tiba-tiba sesosok itu berbalik dan menatap Alvin. Betapa terkejutnya bahwa itu adalah Ayah Alvin.
“Alvin! Sini gabung!” Ajak Ayah Alvin. Alvin bengong.
“Vin, sini nak gabung.” Kali ini Ibu Alvin juga mengajaknya.
“Oh iya iya.” Alvin menghampiri mereka dan duduk disebelah Ka Nova.
“Vin, nanti malem Ayah mau ajak kita makan malem bareng, lho. Udah lama kan kita ngga kaya gini.” Ujar Ka Nova. Alvin masih bingung.
“Hah? Apaan sih, Ka. Gue ngga ngerti. Kenapa tau-tau keadaan keluarga kita jadi kaya gini?”
“Hahaha Alvin, Alvin. Ayah udah berusaha mengubah sikap Ayah, tapi kamu malah ngomong gitu. Kamu mau ayah yang dulu?”
“Engga! Ampuuuunnnn.” Alvin memohon manja.
“Ayah sudah sadar, Ayah punya keluarga yang sangat berarti, yang ngga boleh disia-siakan. Ayah ingin jadi bagian keluarga ini kaya dulu lagi. Ayah janji bakal jadi Ayah yang paling baik di dunia. Maafin Ayah ya, Vin. Ayah paling banyak salah sama kamu.” Ayah Alvin menunduk. Alvin tersentuh, berdiri dari tempat duduknya dan berlutut didepan Ayahnya.
“Ngga apa-apa, yah. Ngga perlu minta maaf. Kejadian yang sudah lewat, biarin aja. Yang penting kita mulai dari awal lagi, ya.” Alvin tersenyum.
“Makasih Alvin.” Ayah Alvin memeluk Alvin erat. Hangat. Sudah lama Alvin mendambakan sebuah pelukan tulus dari sang ayah tersayang. Ka Nova dan Ibu hanya memandang dengan tatapan terharu.
“Yah?” Alvin melepas pelukannya.
“Iya, Alvin?”
“Makan malam barengnya nanti ya?”
“Iya. Ada masalah?”
“Hmmm Alvin boleh ajak temen Alvin ngga? Besok kan hari libur.”
“Tentu. Emang kamu mau ajak siapa?”
“Namanya Zahra. Anaknya lembut, sopan, cantik lagi.” Ungkap Alvin malu.
“Boleh, boleh. Jam 7 ya.”
“Oke, makasih Ayaaahhh. Alvin mau telepon Zahra dulu. ” Alvin melangkah menjauhi ruang keluarga, menuju teras rumahnya. Mencari-cari nama Zahra dalam kontak handphone nya dan langsung menekan tombol ‘calling’.

“Hallo, Vin.” Terdengar suara Zahra.
“Hey, Zahra.”
“Tumben nih telepon. Kenapa?”
“Nanti malem lo ada acara ngga?”
“Hmmm engga tuh.”
“Bagus kalo gitu!”
“Apanya yang bagus?”
“Gini, ayah gue ngajakin makan malem bareng keluarga. Dan gue mau lo dateng.”
“Gue? Itukan makan malem lo sama keluarga lo, Vin. Ngapain ajak-ajak gue?”
“Kata Ayah gue boleh bawa temen kok. Yayaya please, Zah.”
“Yaudah deh. Gue juga bosen dirumah.”
“Yeay makasih Zahra. Gue jemput jam 18.50 yaa. Bye.”
“Bye, Vin.”

‘Asik Zahra mau dateng!’ ujar Alvin dalam hati. ‘Wait, kenapa gue berinisiatif buat undang Zahra? Kenapa gue ngga undang yang lain aja? Aduhh gue kok jadi aneh gini. Apa gue suka sama Zahra? Engga, engga Zahra kan cuma masa lalu gue.’ Alvin garuk-garuk kepala. Ia heran dengan perasaannya sendiri. Ia pun memutuskan untuk kembali ke ruang keluarga.

Di rumah Sivia

Seusai sekolah, Sivia selalu murung. Tidak ada senyum dibibirnya. Bahkan, jika diperhatikan, butiran air mata Sivia jatuh sedikit demi sedikit. Ya, Ray lah jawabannya. Sivia memang kesal dengan Ray, tapi itu membuatnya sedih. Masih ada rasa sayang dihatinya. Tapi 80% keyakinannya menginginkan mereka untuk putus. ‘Ya, gue harus putus. Gue ngga mau terus-terusan kaya gini.’ Batin Sivia. Sivia segera mengambil handphone nya yang tergeletak di meja dan mulai mengetik pesan singkat untuk Ray.

To : ♥Ray
Ray, aku mau kita putus.

Ray yang sedang ketawa-tawa baca komik sambil tiduran di tempat tidur, kaget seketika. Nafasnya terasa sesak, pikirannya kacau. Ia memutuskan untuk menelepon Sivia. Awalnya Sivia ngga mau angkat, tapi dia putuskan untuk mengangkatnya.

“Hallo, Vi.” Ray mulai berbicara.
“Hemm..”
“Itu sms kamu yang tadi bercanda kan?”
“Seriuslah, ngapain aku bercanda.”
“Tapi ending nya ngga bisa kaya gini dong, Vi. Ini semua cuma masalah kecil dan masih bisa kita bicarain baik-baik.”
“Tapi aku udah ngga sanggup, Ray. Aku udah terlanjur kesel. Kalau kita putus, kamu bisa kan jadian sama Dea itu.”
“Apaan sih, Vi. Udah aku bilang Dea cuma temen aku. Dan aku sukanya sama kamu!”
“Kamu terlalu lemah! Kalau emang kaya gitu, harusnya kamu samperin Dea, suruh dia telepon aku minta maaf atas semua ini. Tapi kenyataannya apa? Kamu ngga berusaha membuat Dea minta maaf kan? Cowo macam apa kaya gitu.”
“Maaf, Vi. Maaf. Aku belum sempet. Lagipula ini terlalu cepat kalau kita putus sekarang.”
“Kamu ngga ngertiin keadaan aku sekarang Ray! Hiks..” Isakan Sivia mulai terdengar.
“Via? Jangan nangis dong. Kita omongin pelan-pelan ya dari awal. Aku masih sayang sama kamu, aku ngga mau lepasin kamu, Vi.”
“Ngga! Kamu munafik!”
“Terserah kamu mau ngatain aku apa, Vi. Kasih aku kesempatan ya buat nyari jalan dari masalah ini. Please, Vi. Tarik kata-kata putus tadi.”
“Whatever. Aku ngga peduli. Walau kita belum putus, tapi aku marah banget sama kamu!!” Sivia memutus sambungan telepon nya. Ray menjadi sangat lemas. Bingung. Padahal hanya masalah seperti itu saja, Sivia sampai marah kaya gitu.

*****

Zahra sedang bingung memilih pakaian yang akan Ia kenakan untuk makan malam bersama keluarga Alvin di kamarnya. Alvin menjemput dia setengah jam lagi tapi Ia belum bersiap. ‘Hemm udahlah ngga usah formal-formal. Kemeja sama jeans cukup kan?’ Ya, itulah keputusan Zahra. Mengenakan kemeja berwarna ungu dengan jeans hitam. Rambutnya dibiarkan terurai. Zahra sudah siap sekarang. ‘Waduh udah jam segini. Cepet-cepet turun deh.’ Zahra melangkah keluar kamarnya, menuruni tangga dan menuju ruang keluarga. Menunggu Alvin. Disana ada mamanya yang sedang membaca majalah.
“Zahra? Kamu rapi sekali. Mau pergi?”
“Iya, Ma. Alvin ngajakin aku makan malam bareng keluarganya. Boleh kan ya, Ma?”
“Alvin? Mama ngga tau ah kamu punya teman yang namanya Alvin.” Alvin dan Zahra memang pernah pacaran dulu, tapi backstreet. Kedua orang tua mereka tidak ada yang mengetahui itu. Dan itupun hanya bertahan 7 bulan.
“Alvin anak kelas 9b, Ma. Nanti mama ketemu aja, dia mau jemput aku. Oh itu kayanya dia udah dateng.”

Terdengan suara motor berhenti tepat didepan rumah Zahra. Zahra dan Mama nya segera menghampiri. Alvin melepas helm nya dan turun dari motor. Masuk kerumah Zahra yang pintu gerbangnya sudah dibuka kan oleh satpam. Alvin tersenyum melihat Zahra yang berpenampilan sangat cantik malam ini. Saai itulah, Ia merasa jantungnya berdetak kencang, apalagi ketika Zahra membalas senyumannya.

“Malam, Tante.” Alvin menyalami Mamanya Zahra.
“Malam. Kamu.... yang namanya Alvin?”
“Benar, Tante. Alvin mau ajak Zahra ikut makan malam dirumah Alvin. Boleh ngga, Tan?”
“Tentu. Zahra juga udah siap kok.”
“Yaudah kami berangkat ya, Tan.”
“Zahra berangkat, Ma.”
“Hati-hati. Bawa motornya jangan ngebut, Vin.”
“Siap, Tante.” Alvin tersenyum ramah.

Alvin dan Zahra menuju motor Alvin (motor Ka Nova, sih) yang diparkirkan didepan gerbang yang terbuka. Mereka menaiki motor itu dan langsung melesat kerumah Alvin. 10 menit kemudian mereka sudah sampai dirumah Alvin. Setelah meletakkan helm dan memarkirkan motor, Alvin dan Zahra masuk kedalam rumah. Ayah dan Ibu Alvin serta Ka Nova sudah menanti mereka.

“Permisi. Selamat malam.” Ujar Zahra sopan.
“Malam Zahra.” Ibu Alvin tersenyum pada Zahra.
“Zah, duduk disini ya.” Alvin menarik kursi untuk Zahra. Kemudian Alvin duduk disebelah Zahra.
“Baru kali ini lo bawa cewe kesini, Vin, Vin.” Goda Ka Nova.
“Apa sih, Ka. Diem deh.”
“Ihh Alvin jadi lembut. Haha cie jaim.”
“Ka, please dong. Ohya Zahra ini kaka gue. Ka Nova.”
“Hahaha oke oke, Vin. Hello Zahra.”
“Hello Ka Nova.” Sapa Zahra balik.

Mereka makan malam sambil berbincang, sesekali tertawa. Malam yang menyenangkan bagi Zahra. Pengalaman, makan bareng keluarga Alvin. Seusai makan, Zahra bersiap-siap untuk pulang.

“Om, Tante, Ka Nova, Alvin. Makasih buat malam ini. Kalau gitu Zahra pamit pulang, ya.”
“Makasih juga, Zahra udah mau dateng. Suasananya jadi makin menyenangkan.” Ujar Ayah Alvin.
“Yasudah, Zahra permisi ya.”
“Zahra, tunggu. Biar gue anter pulang.” Tawar Alvin.
“Ngga usah, Vin makasih. Udah malem, masa malah ngerepotin lo.”
“Justru karena udah malem, gue takut lo kenapa-kenapa. Udah, Yuk.” Alvin mengenggam tangan Zahra menuju motornya. Zahra merasa gugup.

Sesampainya dirumah Zahra

“Thanks for today, Vin. Mampir dulu, yuk.”
“Sama-sama, Zahra. Engga deh, langsung balik aja ya gue.”
“Please, Vin. Kita ngobrol-ngobrol dulu.” Zahra memohon.
“Hemm yaudah deh.” Alvin turun dari motor dan mengikuti Zahra yang duduk di kursi di teras rumahnya.
“Zahra. Boleh jujur ngga?” Alvin memulai pembicaraan.
“Boleh, kok. Apa?”
“Lo cantik banget malam ini.” Ujar Alvin malu.
“Ahh Alvin apaan sih, biasa aja tau.” Zahra tak kalah malunya.
“Beneran deh, Lo bisa buat cowo-cowo yang ngeliat lo suka sama lo, tau.”
“Ngga gitu juga kali, Vin.”
“Yee beneran tau.”
“Contohnya siapa?”
“Gue.”
“Lo?”
“Hah? Lho tadi gue ngomong apa sih, sorry sorry.” Alvin kelabakan.
“Tadi lo ngomong kalau lo salah satu dari cowo-cowo yang suka sama gue. Iya ngga? Haha.” Ledek Zahra.
“Tapi kalo boleh jujur lagi.. boleh ngga?”
“Ya boleh lah.”
“Kalau boleh jujur, gue emang suka sama lo, Zah.”
“Dulu kan?”
“Ya sekarang lah. Malam ini, gue rasa gue suka sama seorang Zahra Damariva. Dan gue cuma bisa berharap, dia mau nerima gue kaya dulu lagi. Melanjutkan hubungan yang sempat terputus.”
Zahra diam. Alvin melanjutkan pembicaraannya sambil menatap Zahra.
“Lo mau jadi cewe gue lagi, Zah? Gue butuh lo.” Ungkap Alvin. Zahra belum berani menatap Alvin. Zahra hanya memandang kearah taman rumahnya.
“Ngga mau yah? Yahhh yaudah ngga apa-apa kok.” Alvin mengalihkan pandangannya dari arah Zahra, kearah depan.
“Siapa bilang? Gue mau kok.” Kini Zahra menatap Alvin.
“Beneran?”
“Iya, Alvin.”
“Jadi.. Kita balikan, Zah?”
“Iyaaa sayang.” Zahra mencubit pipi Alvin dengan gemas.
“Makasih, Zahra.” Ungkap Alvin senang.
“Makasih kembali.”
“Yaudah aku balik dulu yaaa Zahra. Good night.” Ujar Alvin manja.
“Night, Vin.”

Alvin menuju ke motornya, memakai helm dan menaiki motornya. Setelah tersenyum pada Zahra, Ia langsung pulang. Zahra membalas senyum Alvin, lalu memasuki rumahnya. Ke kamarnya. Sulit dipercaya, cowo yang pernah menjadi miliknya, kini menjadi miliknya kembali. Betapa senangnya Zahra.
 

Arimbi's Story Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal