Di koridor sekolah
”Ify! Bentar, Fy.” Rio berteriak dan mengejar Ify. Rio sudah berada dihadapan Ify.
“Ngapain lo? Lo udah jahat sama Alvin tau ngga!”
“Oke, omongan gue emang kasar tadi. Sorry.”
“Jangan minta maaf ke gue, tapi ke Alvin.” Ify melangkah pergi tapi Rio kembali mencegahnya.
“Iya, itu urusan gampang.”
“Yaudah, gue mau ke kelas. Jangan menghalangi gue dong.”
“Fy, please gue mau nanya sesuatu.”
“Apa?” jawab Ify jutek.
“Lo dapet darimana cincin berlambangkan ‘RA’ itu?”
“Hah? Bukan urusan lo.”
“Ayolah, Fy. Gue pengen tau.” Rio berusaha membujuk Ify.
“Oke, oke. Gue dikasih sama sahabat kecil gue.”
“Sahabat kecil lo?”
“Iya, jadi gue punya sahabat waktu kecil. Dia tinggal disebelah rumah tante gue. Waktu kecil, setiap liburan gue nginep dirumah tante gue. Yaudah deh jadi sahabatan gue sama tuh anak.” Ify menjelaskan. Rio berfikir ‘itu kan masa kecil gue. Berarti bener, Ify sahabat kecil gue.’
“Terus kenapa sahabat lo ngasih lo cincin?” Rio pura-pura bertanya.
“Soalnya dia mau pindah ke Manado. Biar suatu hari nanti kalau dia nyari gue agak mudah. Tapi dia pengkhianat, udah 6 tahun ngga nyari-nyari gue.” Rio terlihat lesu mendengar perkataan Ify. Ia tidak dapat berbicara lagi.
“Yo? Kenapa lo?” Tanya Ify.
“Ngga, Fy. Yaudah makasih udah mau ngasih tau.” Rio meninggalkan Ify menuju ke kelasnya.
Dirumah Alvin
”Ka Nova? Bunda?” Alvin memasuki rumahnya yang tampak sepi. Terdengar isak tangis Ka Nova dari dalam kamar Bunda.
”Ka? Kaka kenapa? Lho Bunda kenapa, Ka?”
”Lo lama banget sih, Vin. Liat nih, Bunda jadi korban kekerasan ayah tau ngga!”
”Gue kan harus izin dulu dari sekolah, Ka. Ya jelas lama lah. Terus ayah kemana?”
”Ngga tau! Pergi setelah mukul Bunda! Mas Oni (supir keluarga Alvin) dipaksa nganterin Ayah.”
”Emang permasalahannya apa?”
”Gue juga ngga tau, Vin. Pas ayah pulang udah marah-marah gitu aja. Coba kalo lo pulang lebih cepat, Bunda ngga akan kesakitan gini.” Nova mulai emosi.
”Yaudah sih, Ka. Masih mending gue pulang. Tapi gue malah disalahin gini!”
”Udah, Nova, Alvin. Jangan bertengkar ya.” Bunda yang sedang berbaring lemah ditempat tidur berusaha melerai Alvin dan Nova.
”Maafin Alvin, Bun. Harusnya Alvin selalu melindungi Bunda, tapi Alvin belum bisa.”
”Ngga apa-apa, Vin. Bunda bisa jaga diri sendiri kok.”
”Yaudah, Bunda istirahat ya.” Alvin dan Nova meninggalkan Bunda sendirian dikamarnya.
Alvin termenung dikamarnya. Sekarang Ia bingung harus melakukan apa. Menjaga Bunda? Ayah kan lagi ngga ada jadi aman. Balik ke sekolah lagi? Ngga mungkin, sekolah bubar 1 jam lagi. Kemudian Ia ingat akan latihan band setiap pulang sekolah. Ia memutuskan untuk menelepon Ray, karena Ia tau kelas Ray saat ini sedang tidak ada guru yang mengajar.
”Ray!”
”Alvin! Lo tadi kenapa?”
“Family problem aja kok. Eh nanti latihan band jam berapa?”
“Jam 2. Yakin lo bisa ikut latihan? Kalau engga, jangan dipaksain, Vin.”
”Iya yakin gue. Yaudah nanti gue balik ke sekolah lagi deh.”
”Oke deh.”
Alvin bersiap-siap untuk latihan band. Ia minta izin sama Bunda, juga Ka Nova.
”Mau pergi?” Tanya Nova.
”Iya. Mau latihan band.”
“Pergi naik apa?”
”Naik mobil lah, dianter sama Mas Oni.”
”Mas Oni kan lagi nganterin ayah, gimana sih.”
”Oh iya, aduuuhh. Masa Gue naik angkot sih?”
”Bawa motor gue aja.” Nova menyarankan.
“Boleh nih? Asik deh. Untung motor lo warna hitam, jadi gue bisa bawa. Kalo warna cewe? Idih ogah deh.”
“Ye gue kan emang lebih suka warna hitam. Udah sana, hati-hati ya.”
“Sip.”
*****
Alvin tiba disekolah (lagi). Ia memarkirkan motornya. Sekolah tampak sepi. Ia melihat sesosok gadis yang masih berdiri didepan studio musik. Dan gadis itu Acha.
”Acha? Kok lo belum pulang?” Acha kaget melihat Alvin tiba-tiba sudah ada dihadapannya.
”Ka Alvin! Kaka tadi kenapa? Acha panik tiba-tiba Kaka ninggalin Acha sama Ka Ray dan Ka Sivia.”
”Ya ampun maaf banget ya, Cha. Tadi ada masalah keluarga gitu.”
”Masalah? Separah apa ka, sampai kaka izin dari sekolah?”
”Biasalah. Udah ah, gue mau latihan band dulu.” Alvin melangkah memasuki studio musik, diikuti Acha. Tapi tak seorangpun berada di studio. Tiba-tiba handphone Alvin berdering, ada sms masuk yang ternyata dari Ray.
-From : 9a_Ray-
Alvin, sorry gue telat datengnya. Sivia lagi demam tinggi, dirumahnya cuma ada dia sendiri. Gue mau nemenin dia sampe orang rumahnya pada pulang.
-To : 9a_Ray-
Oke Ray. Tapi gue masih sendirian disini. Tanyain yang lain dong suruh sms gue pada mau dateng jam berapa.
-From : 9a_Ray-
Sip. Bentar ya
Beberapa saat kemudian, sms dari Gabriel, Rio, dan Ify mulai berdatangan.
-From : 9a_Gabriel-
Vin, gue mau buat tugas bentar ya. Masalahnya deadline nya besok dan cuma gue yang belum ngumpulin di 9a.
-From : 9d_Rio-
Gue nemenin adek gue jalan. Sorry telat.
-From : 9b_Alyssa-
Gue lagi dijalan
Oke, Alvin mulai bete membaca sms dari teman-temannya. Tak ada satupun sms dari mereka yang Alvin balas.
“Ka, Acha mau dengerin cerita kaka, kok. Mumpung cuma ada kita berdua.” Acha melanjutkan pembicaraan.
“Tapi masalah ini cuma lo sama Rio aja ya, Cha yang tau.”
“Iya ka. Acha bakal jaga rahasia kaka.”
”Oke gue percaya sama lo.”
“Sambil duduk deh ka.” Acha dan Alvin duduk di sofa.
“Ayah sama bunda gue dulu sih akur. Tapi semenjak ayah dipindah tugaskan keluar kota. Setiap ayah pulang ke Jakarta yang jadwalnya ngga ada yang tau, pasti bunda selalu jadi korban kekerasan ayah. Ayah ngga suka kerja disana. Tapi dia tetep bekerja buat gue, kaka gue, sama bunda. Gue anak cowok satu-satunya. Dan gue harus ngejagain bunda sama kaka gue. Apalagi kaka gue kuliah di Bogor dan pulangnya jarang-jarang. Gue takut banget sama ayah, karena gue juga pernah jadi....” Omongan Alvin terhenti.
”Jadi apa?” Tanya Acha.
”Ini kenangan terburuk gue sebelum gue takut sama ayah.”
”Emang ada apa, Ka?”
”Waktu umur 10 tahun, gue pernah masuk rumah sakit dengan keadaan sangat parah. Gue jadi korban kekerasan ayah, karena berusaha membela bunda. Gue kritis, tapi bunda cuma luka kecil.” Alvin tertunduk.
”Maaf ka, Acha bukannya mau mengingatkan kaka sama kenangan buruk kaka.”
”Iya, ngga apa-apa kok Cha. Gue udah berusaha lupain kenagan itu, tapi emang ngga bisa ya.”
Tiba-tiba Ify memasuki studio musik. Melihat hanya ada Alvin dan Acha, Ify heran. Dengan sengaja, Ia duduk disebelah Alvin. Dan Alvin jadi duduk diantara Acha dan Ify.
“Alvin sorry ya tadi macet banget.” Jelas Ify.
”Oke, ngga apa-apa kok.”
”Yaudah latihan berdua dulu yuk.” Ajak Ify.
”Tapi nanti Acha sendirian dong.”
”Kaka latihan aja, Acha pulang ya Ka.” Acha hendak meninggalkan Alvin.
”Tunggu, Cha. Nanti aja gue yang anter lo pulang. Mau ya, Cha?” Acha mengangguk.
“Terus kita jadi latihan bang ngga sih?” Ify merasa dicampakkan.
”Ayo latihan deh. Sambil nunggu yang lain. Cha, duduk dulu ya.”
”Oke, Ka.” Jawab Acha.
”Pada kemana sih? Lama amat.” Alvin mulai mengeluh.
”Ngga tau nih. Ngga asik banget.” Ify menambahkan.
”Lo ngga bosen apa, Cha daritadi main handphone terus?” Tanya Alvin kepada Acha.
“Ya bosen sih.”
“Yaudah makan yuk. Gue yang traktir deh sebagai imbalan lo udah mau dengerin cerita gue tadi.”
“Ngga usah, Ka. Ngerepotin Kaka aja.”
”Udahlah, gue belom makan siang nih.”
”Yaudah deh, Acha ikutin Kaka aja.”
”Sip. Fy, lo minta jemput supir lo deh sekarang. Nanti gue tungguin lo deh sampe supir lo dateng.” Alvin memandang Ify.
“Yah Alvin. Gue belum mau pulang.” Ujar Ify.
“Tapi gue mau jalan sama Acha.”
“Yaudah lo pergi aja, gue sendirian juga ngga apa-apa kok.”
“Ngga bisa gitu dong. Udah ayo bilang supir lo dulu, nanti gue tungguin oke.”
“Yaudah deh” Ify mengambil handphone nya dan menelepon supirnya untuk minta dijemput.
Selagi menunggu Ify dijemput, Alvin, Acha, dan Ify bernyanyi bersama. Ify sambil memainkan keyboard.
“Tuhan tolonglah aku. Kembalikan dia, ke dalam pelukku..” Alvin menyanyikan sedikit lagu Jujur Aku tak Sanggup.
”Ka, slow banget lagunya. Yang asikan dikit dong. Ku tak akan bisa, menjauh darimu sepanjang hidupku.” Acha juga ikut bernyanyi.
”Udah, udah. Lagu ini lebih bagus.” Ify memainkan lagu Lepaskan Diriku dengan keyboard sambil bernyanyi.
Kini ku ingin
Pergi darimu
Takkan ada yang bisa menahanku lagi
Karena ku tau dirimu tak seperti dulu lagi
Sudahlah sudah lepaskan diriku
”Nah itu bagus tuh.” Kata Alvin.
”Iya dong siapa dulu yang pilihin lagu. Gue.”
”Iya deh, Fy.”
”Eh supir gue udah nyampe. Yaudah gue duluan ya, Alvin, Acha.” Ify meninggalkan Alvin dan Acha.
”Berangkat sekarang yuk.” Ajak Alvin.
”Ayo, Ka.” Jawab Acha.
Alvin mengambil motor ditempat parkir. Acha menunggu di gerbang sekolah. Kemudian mereka berangkat menuju sebuah restoran. Mereka memilih tempat duduk didekat jendela.
”Gue mau pesen nasi goreng seafood sama milk shake cokelat aja deh. Lo, Cha?”
”Acha minum aja deh. Mau orange juice.”
”Ngga makan? Gue tau lo belom makan. Udah pesen aja, ngga apa-apa kok.”
“Yaudah samain aja sama Ka Alvin.”
“Oke.” Alvin memanggil pelayan dan mengatakan pesanan mereka. Sedangkan Acha hanya memperhatikan pelanggan yang ada.
”Eh, Ka. Itu kan Ka Shilla ya?” Ujar Acha tiba-tiba.
”Mana? Oh iya. Sama Zahra ya.” Alvin memandang Shilla dan Zahra yang baru datang.
”Waduh kok menuju kesini sih? Nanti kalo mereka liat kita bisa digosipin, Ka.”
”Iya bener, yaudah jangan diliatin dulu deh.”
Alvin dan Acha tak menyangka bahwa mereka akan duduk di meja dekat mereka. Hanya berjarak satu meja. Untungnya Mereka tak menyadari kehadiran Alvin dan Acha. Samar-samar Alvin dan Acha dapat mendengar pembicaraan Shilla dan Zahra. Ternyata Mereka sedang membicarakan Rio!
”Shil, lo beneran pacaran sama Rio?” Tanya Zahra.
“Iya. Kenapa?” Shilla bertanya kembali.
“Engga, setau gue Rio suka nya sama Ify kelas 9b deh. Dan gue denger katanya tadi Rio ngejar-ngejar Ify gitu.”
”Serius lo?”
”Iyalah ngapain gue bohong.”
“Hmm.. Kalo gitu gue punya rencana buat ngebuktiin Rio sayang sama gue apa engga.”
“Gimana rencananya?”
“Lomba band 2 hari lagi kan? Gue bakal nahan Rio biar dia ngga ikut lomba. Gue bakal pura-pura sakit.”
“Ngga jahat apa kaya gitu?”
“Engga, udahlah tenang aja.” Shilla meyakinkan.
Alvin dan Acha kaget mendengar pembicaraan Shilla dan Zahra. Rasanya, Alvin ingin cepat-cepat memberitahukan apa yang Ia dengar kepada Rio. Tapi Rio pasti tidak akan mendengarkan Alvin. ’Tapi besok gue harus coba bilang ke rio.’ Gumam Alvin.
to be continued...
0 comments on "It's our love story | Part 4"
Posting Komentar