Upacara kelulusan
“Rifa! Disini!” Aprill melambaikan tangan pada Rifa yang baru datang.
“Hey! Kamu udah lama disini, Prill?” Rifa menghampiri Aprill.
“Iya gitu deh. Ohya Rif, kamu beneran diterima di Francy International School?”
“Yup.”
“Huaaa kan susah banget diterima disana. Selamat ya, Rif.”
“Hehe iya makasih. makanya aku bersyukur banget deh.”
“Hemm, Rif. Kamu kok kelihatan pucat? Kamu lagi sakit?”
“Hah masa? Engga kok, aku sehat-sehat aja.”
“Yaudah duduk disana yuk, gabung sama yang lain.” Aprill melangkah menuju kursi yang disediakan untuk murid kelasnya. Rifa mengikutinya dari belakang. Tiba-tiba Rifa ambruk begitu saja dan tidak sadarkan diri.
“Lho? Rifa! Kamu kenapa? Rifa! Rifa!” Aprill menguncangkan tubuh Rifa yang tergeletak lemah dilantai.
*****
Namanya Rifa. Seorang gadis jenius dari SMP Milliestrain. Setelah 3 tahun bersekolah disana, hari ini adalah hari upacara kelulusan baginya dan teman-temannya. Tapi tak disangka, Rifa harus berbaring di rumah sakit saat ini. Melewati saat terakhir bersama teman SMP nya.
Rifa pingsan karena kondisinya sangat lemah. Ia mulai membuka matanya ketika mendengar petikan gitar dari ruangan sebelah yang hanya dibatasi oleh tirai. Alunan musik yang membuatnya merasa tenang. Karena penasaran, Ia bangkit dan menuju ke asal suara itu.
“Lho? Kamu bukannya Farel murid kelas 9-b?” Rifa terkejut melihat sesosok yang dikenalnya, yang memainkan gitar tadi.
“Iya. Kenapa? Ada masalah?”
“Engga. Kamu kok ada disini?”
“Aku bernasib sama seperti kamu. Makanya aku disini.”
“Maksud kamu apa?” Tanya Rifa heran.
“Kamu kan tadi pingsan. Terus dibawa kesini. Karena kamu punya penyakit yang sama denganku.”
“Aku pingsan? Oh iya tadi kan aku lagi di upacara kelulusan sekolah!” Rifa menepuk keningnya sendiri
“Asik ya masih sempat datang ke upacara kelulusan sekolah. Aku sudah dari 5 hari yang lalu terjebak disini.” Ungkap Farel sedih.
“Asik apanya. Acaranya belum mulai, aku udah dibawa kesini kan. Aku masih ngga ngerti deh, aku itu kenapa sih?”
“Kamu terkena leukemia. Sama sepertiku. Bagus deh, karena ada kamu aku jadi punya teman. Selama ini aku selalu menyendiri disini.”
“Leukemia? Engga, engga mungkin! Aku tuh sehat-sehat aja kok.”
“Itu dulu. Tapi sekarang kenyataannya gitu kok. Kehidupan kamu sudah berbeda. Kamu akan tinggal disini, belajar dan bermain disini.”
Rifa sangat tidak percaya akan perkataan Farel. Ia sangat shock. Tiba-tiba Ibu dari Rifa dan Farel datang dan terkejut melihat Rifa sedang bersama Farel.
“Rifa. Kamu sudah sadar? Ayo kembali ke tempat tidur, kondisimu masih lemah.” Ibu Rifa menyarankan. Rifa mengangguk dan segera berbaring ke tempat tidurnya.
“Farel. Kamu main gitar terus. Ayolah, istirahat. Biar kamu cepat diizinkan pulang kerumah.” Ibu Farel menghampiri Farel.
“Diizinkan pulang? Ngga mungkin, Bu. Selamanya aku akan terjebak disini. Aku tau, kok.” Farel meletakkan gitarnya, kemudian berbaring di tempat tidur dan memejamkan matanya. Ia tidak mau mendengar perkataan Ibunya yang meyakinkan bahwa Ia dapat keluar dari rumah sakit.
Semenjak Rifa mengetahui bahwa Ia menderita leukemia, Setiap hari Ia hanya berbaring di tempat tidur, sesekali berbicara dengan Farel Padahal Ibunya telah menawarkan Rifa untuk pergi ke ruang main, agar Ia dapat berkenalan dan berbagi cerita kepada penderita leukemia lainnya. Tapi Rifa tidak mau. Menurutnya itu hanya membuatnya sedih. Ibu Rifa juga sudah mencarikan guru SMA untuk Rifa agar anaknya dapat tetap belajar disini. Tapi hati Rifa belum tegar untuk menerima kenyataan yang ada.
Hingga suatu hari, ruangan Rifa terasa sangat sepi. Ibu Rifa yang biasanya hadir menemani Rifa tidak ada. Ia sedang pergi bersama Ibu Farel, entah kemana. Rifa merasa sangat bosan. Ia melihat Farel hendak keluar dari ruangan.
“Farel! Mau kemana?” Tegur Rifa.
“Ruang main. Aku bosan. Mau ikut? Kamu sudah 2 minggu terus berada di ruangan ini, lho.”
“Masa? Hemm boleh deh. Tunggu sebentar ya.” Rifa beranjak dari tempat tidurnya, melangkah mengikuti Farel menuju ruang main. Banyak penderita leukemia lain berada disana.
“Duduk disana, yuk.” Farel menunjuk sebuah meja berbentuk lingkaran. Ia ingin duduk bersila di karpet, di depan meja tersebut. Rifa mengangguk.
Rifa dan Farel asik sekali berbicara. Mereka menjadi akrab. Dunia Rifa yang tadinya sangat kelam, kini menjadi sedikit berwarna.
“Rel. Andai kamu normal, apa yang kamu lakukan sekarang?” Tanya Rifa tiba-tiba.
“Aku pasti sedang berlatih gitar bersama teman-temanku. Di sekolah musik yang seharusnya aku berada disana sekarang. Kalau kamu?”
“Aku… mungkin sedang berbincang dengan teman-teman baruku. Di sekolah internasional yang seharusnya aku menjadi murid disana.”
“Hey, hey. Gimana kalau kita buat sebuah tulisan? Berisi kegiatan yang seharusnya kita lakukan jika kita hidup normal.”
“Ide yang bagus. Ayo!”
Rifa dan Farel mengambil buku tulis dan pulpen yang tersedia di ruang main itu. Mereka merobek selembar kertas untuk membuat tulisan mereka. Mereka pun menulis dengan hati riang.
“Aku selesai!” Ucap Rifa.
“Aku juga sudah selesai.” Kata Farel tak mau kalah. Rifa tertawa kecil.
“Farel, makasih ya. Kalau ngga ada kamu, mungkin aku bakal pergi ke surga dengan hati sedih kali.”
“Kalau gitu aku mau nemenin kamu sampai kapanpun. Entah itu di surga, ataupun disini. Agar aku dapat selalu memastikan, kalau kamu senang.”
“Janji?” Rifa mengulurkan jari kelingkingnya.
“Janji.” Farel melilitkan jari kelingkingnya ke jari Rifa.
Hening. Tak ada pembicaraan setelah itu. Perlahan kedua mata mereka tertutup. Kedua anak itu pergi ke surga dengan senyuman manis, dengan janji di jari kelingking mereka yang masih terlilitkan.
*****
Hari pemakaman
Suasana duka tergambar dirumah megah di pinggir jalan. Begitupun dengan rumah di komplek sebelahnya. Ya, Rumah Rifa dan Farel. Hari itu dibacakan tulisan karya Rifa dan Farel dirumah masing-masing. Karena hanya itulah kenangan terakhir mereka.
Aku seorang gadis kecil yang baru beranjak menjadi siswi SMA. Aku seharusnya berada di Francy International School, bersama teman-teman baruku. Tertawa, menangis, aku lalui bersama teman-temanku disana. Belajar lebih giat, dihukum guru karena lupa membawa tugas, melihat senyuman Ayah dan Ibu atas prestasiku.. itulah hidupku. Hidupku yang penuh khayalan belaka. Kini aku menjadi gadis kecil yang malang, tanpa senyum di bibirku. Hanya air mata yang dapat ku teteskan tiap harinya. Menahan amarah dan keengganan untuk berada dirumah sakit ini.
Rifa
Sekolah musik adalah tempatku berada. Untuk menggapai impian ku menjadi seorang guitarist yang professional. Berlatih setiap saat, tersenyum menghadapi kesalahan nada yang aku perbuat, merasa bangga ketika orang tua ku tersentuh mendengar permainan gitarku. Sebelum aku menggapai semua itu, aku harus tergeletak lemah di rumah sakit. Meratapi masa depanku yang sudah kelam dengan leukemia ini. Hanya gitar yang menemaniku setiap hari disaat aku mulai bosan menjalani hidup seperti ini. Tapi itulah hidupku yang sebenarnya. Mau tak mau, aku harus menjalankannya.
Farel
Apakah kita harus selalu berduka karena itu? Tidak. Semua memang merasa kehilangan Rifa dan Farel. Tapi apakah mereka tau, apa yang sedang dilakukan Rifa dan Farel? Tidak juga. Rifa dan Farel menjalani hidup yang baru di surga. Dengan senyuman. Selalu bersama. Abadi. Dan tanpa leukemia.
0 comments on "Ungkapan Kehidupan dalam Sebuah Tulisan"
Posting Komentar